Selamat Datang Di Blog Jurnal Anak 1000 Pulau - Dimana Ada Perairan, Disitu Pasti Ada Suku Bajo

CARA BERTANYA DALAM BAHASA BAJO PADA KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Belajar salah satu bahasa daerah yang ada di Sulawesi Tenggara, Indonesia ini, kita tahu bersama Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau dengan begitu banyak suku, budaya, etnis dan bahasa.

BUDAYA SUKU BAJO

Orang Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak mengadaptasi adat istiadat orang Bugis atau Makassar. Atau juga adat istiadat Buton di Sulawesi Tenggara.

ASAL USUL BANGSA BAJAU (BAJO)

Samah adalah gelaran yang diberikan kepada suku kaum Bajau yang mendiami kawasan pantai barat Sabah bermula dari Kudat sehingga ke kawasan pedalaman Sabah.

Tuesday, December 25, 2018

Edukasi Maritim Suku Bajo #2

Masyarakat suku Bajo mengandalkan kawasan pesisir yang hampir berada di pedalaman sebagai tempat tinggal. Dengan bermukim di wilayah pesisir, mereka lebih mudah bepergian untuk mencari ikan yang merupakan mata pencaharian utama. Namun, di balik itu, sektor pendidikan menjadi permasalahan besar yang harus diselesaikan.

Gambar terkait

Banyak anak-anak suku Bajo yang putus sekolah karena akses yang cukup sulit untuk mendapatkan pendidikan di luar kawasan pemukiman. Hal ini mengakibatkan tingginya angka buta huruf di kalangan masyarakat Bajo. Guna mengentaskan permasalahan tersebut, masyarakat Bajo mulai menerapkan pendidikan dengan sistem kemaritiman.

Hasil gambar untuk pendidikan suku bajo

Presiden Kekar Bajo Abdul Manan menjelaskan, kebanyakan anak suku Bajo memang kesulitan untuk bersekolah jauh dari permukiman. Alasannya, anak suku Bajo kerap membantu orang tua mereka mencari ikan ke tengah laut. Untuk itu, masyarakat Bajo mulai menerapkan sistem pendidikan nonformal.

Pendidikan nonformal diterapkan dengan cara tidak menggunakan sepenuhnya konsep dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Masyarakat Bajo justru menjalankan sistem pendidikan mengikuti kebudayaan dan keseharian mereka, tanpa mengesampingkan melaut. "Kita kembangkan sekolah on-off. Jadi, saat laut sedang pasang atau bagus untuk mencari ikan, anak-anak akan pergi melaut. Namun, jika cuaca buruk, mereka kembali lagi ke sekolah untuk belajar," ujar Abdul Manan dalam seminar "On Bajo-Sea Nomad in Asia Pasific", pekan lalu.

Menurut Manan, sejauh ini sekolah dengan sistem on-off yang diberlakukan di beberapa pesisir tempat permukiman suku Bajo terbilang cukup efektif. Hasilnya, anak-anak Bajo mampu menerapkan ilmu yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari dan tak kalah pentingnya tidak begitu mengganggu proses mencari ikan di laut.

Manan mengakui, memang belum semua suku Bajo menerapkan pendidikan dengan sistem on-off. Ke depannya, Manan berharap pemerintah pusat maupun daerah bisa mendukung dan membantu sistem pendidikan yang diterapkan sehingga sekolah maritim bisa sangat bermanfaat bagi masyarakat pesisir, khususnya anak Bajo tidak terhindar dari buta huruf karena tidak bersekolah. "Yang penting ada keterbukaan dalam sistem ini sehingga proses belajar-mengajar bisa meningkatkan ilmu dan perekonomian suku Bajo ke depannya," papar Manan.

Potensi pariwisata

Suku Bajo merupakan masyarakat yang hidup dari hasil laut. Mereka kerap berdiam dan menetap di pesisir laut. Meski memanfaatkan sumber daya laut sebagai mata pencaharian, cara hidup dan kebudayaan suku Bajo terbilang tidak merusak ekosistem yang ada di laut. Bahkan, masyarakat Bajo kerap menjaga habitat laut agar manfaatnya bisa berkelanjutan.

Hasil gambar untuk pendidikan suku bajo


Melihat kebudayaan suku Bajo yang mampu mempertahankan keanekaragaman hayati biota laut, mulai dari ikan hingga terumbu karang, Kementerian Kemaritiman tertarik mengajak suku Bajo untuk sama-sama menghidupkan perekonomian melalui sektor pariwisata kelautan. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenko Maritim) Safri Burhanuddin mengatakan, suku Bajo merupakan masyarakat yang banyak tinggal di daerah pesisir Indonesia, seperti kawasan Wakatobi, Kabuapaten Bone, Ambo, bahkan mencapai pesisir Maluku dan Maluku Utara. Kebanyakan dari masyarakat suku Bajo pun tinggal di daerah yang baik untuk dijadikan tempat pariwisata laut.

Safri menjelaskan, kebudayan suku Bajo yang melestariakan habitat laut membuat daerah yang didiami mereka lebih baik. Mulai dari terumbu karang hingga keanekaragaman ikan di daerah tersebut lebih terjaga. Dengan kebudayaan tersebut, suku Bajo menjadi contoh ideal sebagai masyarakat yang mampu menjaga kawasan laut.

Menurut Safri, dengan cara menjaga kebudayaan habitat laut, Kemenko Maritim akan mengajak masyarakat suku Bajo untuk sama-sama menghidupkan pariwisata di sekitar pesisir laut yang menjadi tempat hidup warga Bajo. Hal ini karena Kemenko Maritim belum bisa memercayakan pengembangan sektor ini kepada masyarakat yang belum paham mengenai tata cara menjaga habitat laut.

"Suku Bajo mempunyai cara tersendiri dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di laut. Artinya, mereka sudah pasti mampu memberikan edukasi kepada wisatawan dalam menjaga biota laut," kata Safri dalam seminar yang sama. Bukan hanya memperkenalkan kebudayaan suku Bajo kepada masyarakat luas, peningkatan pariwisata di sekitar pesisir permukiman mereka juga diharap mampu meningkatkan perekonomian warga Bajo.

Edukasi Maritim Suku Bajo #1

Masyarakat Suku Bajo mengandalkan kawasan pesisir sebagai tempat mencari mata pencaharian utama. Akan tetapi, pendidikan maritim dinilai masih sulit diakses anak-anak Suku Bajo. Oleh karena itu, komunitas setempat membuat pendidikan alternatif agar pengetahuan maritim tetap bisa dirasakan anak-anak Suku Bajo.

Sektor pendidikan dinilai menjadi permasalahan besar yang harus diselesaikan. Saat ini, banyak anak-anak Suku Bajo yang putus sekolah karena akses yang cukup sulit untuk mendapatkan pendidikan di luar kawasan pemukiman. Hal ini mengakibatkan tingginya masalah buta huruf pada masyarakat Bajo.

Hasil gambar untuk pendidikan suku bajo

Presiden Kekar Bajo Abdul Manan menjelaskan, kebanyakan anak Suku Bajo memang kesulitan untuk bersekolah jauh dari pemukiman. Hal ini karena anak Suku Bajo kerap membantu orang tua mereka mencari ikan ke tengah laut.

Komunitas dari Suku Bajo pun mulai menerapkan sistem pendidikan nonformal. Cara belajar-mengajarnya tidak menggunakan sepenuhnya konsep dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Masyarakat Bajo justru menjalankan sistem pendidikan mengikuti kebudayaan dan keseharian mereka, tanpa mengesampingkan melaut.

"Kita kembangkan sekolah on-off. Jadi saat laut sedang pasang atau bagus untuk mencari ikan, anak-anak akan pergi melaut. Namun jika cuaca buruk, mereka kembali lagi ke sekolah untuk belajar," ujar Abdul Manan dalam Seminar on Bajo-Sea Nomad in Asia Pasific, di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (20/10).

Menurut Manan, sejauh ini sekolah on-off yang diberlakukan di beberapa pesisir tempat pemukimanan Suku Bajo terbilang cukup efektif. Hasilnya anak-anak Bajo mampu menerapkan ilmu yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tak kalah pentingnya tidak begitu menggangu proses mencari ikan di laut.

Manan menyebut, memang belum semua Suku Bajo menerapkan pendidikan dengan sistem on-off. Ke depan, Manan berharap pemerintah pusat maupun daerah bisa mendukung dan membantu sistem pendidikan yang diterapkan, sehingga sekolah maritim bisa sangat bermanfaat bagi masyarakat pesisir khususnya anak Bajo tidak terhindar dari buta huruf karena tidak bersekolah. "Yang penting ada keterbukaan dalam sistem ini sehingga proses belajar-mengajar bisa meningkatkan ilmu dan perekonmian suku baju ke depannya," ungkap Manan.

Friday, May 4, 2018

Tradisi Orang Bajo


Menjaga Tradisi Orang Bajo

Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan.  Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka, dan sasakai. 


Rumah Perahu

Palilibu

Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung. Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga.

 Bapongka

Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang melahirkan di atas perahu.

 Sasakai

Sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.

Pantangan (Pamali)

Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.

Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh. “Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur.

Orang tua melarang anggota keluarga menangkap ikan dan biota lai di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.”

Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer bumi, ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat Bajo saat melaut.

Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika dayung perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan pada malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari, ketika burung elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.

Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis. Terumbu karang,  antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di sekitar kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup tenang.

Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang. “Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut
Rumah panggung Suku Bajo, yang terpisah dari daratan. Mereka tak ingin ada jembatan yang menghubungkan antara daratan dan laut, antara lain khawatir bedampak buruk bagi lingkungan sekitar.

Sumber:
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2014/02/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian.html