Selamat Datang Di Blog Jurnal Anak 1000 Pulau - Dimana Ada Perairan, Disitu Pasti Ada Suku Bajo

Friday, May 4, 2018

Tradisi Orang Bajo


Menjaga Tradisi Orang Bajo

Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan.  Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka, dan sasakai. 


Rumah Perahu

Palilibu

Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung. Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga.

 Bapongka

Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang melahirkan di atas perahu.

 Sasakai

Sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.

Pantangan (Pamali)

Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.

Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh. “Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur.

Orang tua melarang anggota keluarga menangkap ikan dan biota lai di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.”

Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer bumi, ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat Bajo saat melaut.

Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika dayung perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan pada malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari, ketika burung elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.

Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis. Terumbu karang,  antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di sekitar kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup tenang.

Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang. “Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut
Rumah panggung Suku Bajo, yang terpisah dari daratan. Mereka tak ingin ada jembatan yang menghubungkan antara daratan dan laut, antara lain khawatir bedampak buruk bagi lingkungan sekitar.

Sumber:
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2014/02/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian.html

0 comments:

Post a Comment