Selamat Datang Di Blog Jurnal Anak 1000 Pulau - Dimana Ada Perairan, Disitu Pasti Ada Suku Bajo

CARA BERTANYA DALAM BAHASA BAJO PADA KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Belajar salah satu bahasa daerah yang ada di Sulawesi Tenggara, Indonesia ini, kita tahu bersama Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau dengan begitu banyak suku, budaya, etnis dan bahasa.

BUDAYA SUKU BAJO

Orang Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak mengadaptasi adat istiadat orang Bugis atau Makassar. Atau juga adat istiadat Buton di Sulawesi Tenggara.

ASAL USUL BANGSA BAJAU (BAJO)

Samah adalah gelaran yang diberikan kepada suku kaum Bajau yang mendiami kawasan pantai barat Sabah bermula dari Kudat sehingga ke kawasan pedalaman Sabah.

Friday, May 4, 2018

Tradisi Orang Bajo


Menjaga Tradisi Orang Bajo

Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan.  Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka, dan sasakai. 


Rumah Perahu

Palilibu

Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung. Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga.

 Bapongka

Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang melahirkan di atas perahu.

 Sasakai

Sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.

Pantangan (Pamali)

Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.

Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh. “Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur.

Orang tua melarang anggota keluarga menangkap ikan dan biota lai di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.”

Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer bumi, ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat Bajo saat melaut.

Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika dayung perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan pada malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari, ketika burung elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.

Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis. Terumbu karang,  antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di sekitar kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup tenang.

Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang. “Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut
Rumah panggung Suku Bajo, yang terpisah dari daratan. Mereka tak ingin ada jembatan yang menghubungkan antara daratan dan laut, antara lain khawatir bedampak buruk bagi lingkungan sekitar.

Sumber:
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2014/02/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian.html

Tarian Tradisional Masyarakat Suku Bajo


Umumnya tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama dengan tarian suku Bugis, Buton, Mandar dan Toraja. 

Silat

Ada dua tarian yang lumrah di kalangan Suku Bajo yakni :

Tarian Manca

Tarian Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan masyarakat Bajo.Tarian ini dilakukan pada saat ada pesta pernikahan yang resmi ( Massuro ). Biasanya tarian ini dibawakan oleh sepasang pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang masing-masing saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah merupakan turun temurun dari nenek moyang mereka.

Si pamanca sudah terlatih sejak kecil, sehingga gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama sarroni/sulleh (seruling) dan gandah (gendang). Manca bagi masyarakat suku bajo melambangkan kesatriaan sejati karena tarian ini dianggap sebagai bekal untuk menjaga diri. Para pamanca saling bergantian pabila salah satu dari sipamanca lelah yang lain dapat (nyamboh) istilahnya menyambung tarian. Umumnya manca dipentaskan saat pengantin laki-laki diantar kerumah wanita (lekka).

Nah setelah pengantin laki-laki tiba dirumah perempuan, di depan pintu sudah berdiri salah satu anggota keluarga yang sudah dekat atau akrab dengan pengantin laki-laki atau perempuan istilah ini disebut nyambo'. Kalau pengantin laki-laki disebut nyambo' lille sedangkan pengantin perempuan disebut nyambo' dinde.

Manca diiringi dengan alat musik seruling (sarroni), goh (gong), dan gandah (gendang). Lebih serunya lagi para pemanca dengan keterampilan seni beladirinya, tidak ada yang luka walaupun menggunakan pedang. Kita saja yang menonton sangat ketakutan tetapi hal ini sudah terbiasa bagi para pemanca.

Sile' kampoh ( silat kampung )

Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo.Ini bersinambungan dengan manca artinya semua jurus-jurus yang didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca. Silat kampung ini tidak sembarangan orang untuk mempelajarinya. Syaratnya harus sudah cukup umur. Untuk mempelajari silat ini dibutuhkan empat minggu ini sudah sempurna. Prinsipnya silat adalah jalan hidup yang meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia.

Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri.Ada sebuah ungkapan yang menyatakan "Bukan orang Bajo yang meninggal dibunuh tanpa melawan". Makanya setiap pemuda yang berkeinginan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh orangtuanya sebelum dia mempelajari silat.

Panduan silat

Silat bagi Suku bajo berlandaskan pada akidah dan syariah.Maksudnya bagi siapa yang ingin mempelajari ilmu silat harus terlebih dahulu membetulkan tata cara sholat yang baik.Karena ilmu silat ini ada kaitannya dengan gerak-gerik sholat.

Ada beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatikan yakni,
1.      Menyediakan pengeras seperti kain putih

2.      Tidak boleh meninggalkan sembahyang.
3.      Melakukan gerak silat membuka atau menutup gelanggang setiap kali memula atau menamatkan latihan silat.
4.      Guru memainkan peranan penting di dalam menyampaikan sesuatu ilmu bagi menjamin kesahihan dan kesempurnaan ilmu tersebut. Di dalam ilmu persilatan, guru adalah lambang kesempurnaan.
5.      Berikrar untuk tidak menggunakan silat dalam urusan yang tidak bermanfaat.



Sumber:
http://ahmilanakwajo.blogspot.co.id/2010/03/tarian-suku-bajo.html


Upacara Sedekah Laut Khas Suku Bajo "Ngangaidah"


“Ngangaidah” Upacara Sedekah Laut Khas Suku Bajo

Di kutip dari Travel.detik.com.
 Seperti masyarakat pesisir Indonesia lainnya, Suku Bajo di Morowali punya upacara adat sedekah laut. Wisatawan tak boleh melewatkan keseruan upacara ini kalau menjumpainya.

Bendera Ula-Ula

Festival Bajo Pasakayyang 2015 di Pulau Kaleroang yang telah usai turut menjadi ajang untuk memperkenalkan adat budaya Suku Bajo. Salah satunya adalah melalui upacara adat Ngangaidah atau sedekah laut khas Suku Bajo.

Saat Festival Bajo Pasakayyang berlangsung di Pulau Kaleroang Sabtu lalu, ribuan iring-iringan kapal hias sudah tampak memadati dermaga utama sejak pagi hari. Masyarakat yang didominasi oleh Suku Bajo tampak begitu antusias untuk meramaikan festival.

Suku Bajo yang dikenal juga sebagai suku pengembara laut yang tinggal berpindah dengan menggunakan perahu, tersebar di beberapa daerah di Pulau Sulawesi dan Nusantara. Festival tersebut juga menjadi ajang kumpul dan saling bertemu antar Suku Bajo.

"Pasakayyang itu artinya massal atau bersama, Bajo Pasakayyang, jadi semua Suku Bajo bertemu di festival ini," ujar salah satu panitia Festival Bajo Pasakayyang,

Festival pun dimulai dengan upacara adat Ngangaidah atau sedekah laut yang dimulai secara simbolis dengan pengibaran bendera hitam ula-ula. Setelah bendera dikibarkan, lantunan alat musik dibunyikan dan disertai oleh bunyi terompet sangkakala Suku Bajo yang disebut Nagabulo.

Tampak juga beberapa ibu-ibu yang menyalakan dupa. Dimana salah satunya tampak seperti tengah kerasukan dan menari di antara para tokoh desa yang membawa sesajen dan dayung yang juga menjadi atribut upacara. Sambil membawa sesajen dan bendera ula-ula, arak-arakan pun berjalan hingga ke dermaga.

Iring-iringan adat Suku Bajo yang membawa bendera ula-ula

Di dermaga, rombongan pun turun ke salah satu perahu berukuran besar yang berfungsi sebagai salah satu panggung utama. Gong segera berbunyi, diikuti dengan atraksi tari-tarian oleh Suku Bajo yang didominasi warna hitam.

"Suku Bajo itu ciri khasnya warna hitam, semua yang pakai baju warna hitam itu orang Bajo

Sesajen yang terdiri dari berbagai jenis makanan


Kemudian, sesajen beserta dupa yang sebelumnya disiapkan dibawa ke atas panggung dan dilarungkan ke atas laut sebagai simbol persembahan bagi laut dan leluhur. Usai upacara beberapa orang Suku Bajo larut dalam keriaan dengan saling guyur air.

Kebetulan pagi itu udara sangatlah terik, acara guyur-guyuran itu pun menjadi tontonan menarik yang disertai dengan canda tawa. Bajo Pasakayyang!

Melarungkan sesajen di air



Unique Ritual of Bajo Tribe, Dip a New Baby Born into the Sea

NEWS: 
In Unique Ritual of Bajo Tribe, 
Dip a New Baby Born into the Sea

"This newborn child will be directly immersed in the sea water, put into the bottom of the boat where he was born," said Rosimin, Chairman of Customs Bajo.



Bajo tribe who still maintain the tradition of living on the sea, has a unique tradition. They have a special tradition especially in celebrating the birth of a child on a boat while sailing in the ocean.


"This newborn child will be directly dipped into the sea water, put into the bottom of the boat where he was born," said Rosimin, as Chairman of Customs Bajo.

Similar regulations do not apply to Bajo tribes born on land. They will only be bathed in the ocean after three days of birth. Furthermore, the babies will be bathed back at sea after the age of 40 days.

Born and raised in the ocean, making Bajo's children very familiar with the maritime world. So they have the ability to hunt marine animals on the sidelines of the reef by way of unsupported dive in a very long time.

"We Bajo people can dive without oxygen for 20-30 minutes under the sea," said Rosimin in the area of ​​Kuningan, South Jakarta.

Bajo people also have a wealth of traditional rituals that continue to be preserved until now. In addition to birth, the wedding ceremony is also quite unique, because the groom's family will be paraded through boats to the bride's boat.

"Usually the male family will hand over a white cloth as a dowry to the prospective bride," added Rosimin on Wednesday, November 4, 2015.

BUDAYA SUKU BAJO


BUDAYA SUKU BAJO

Terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Orang Bajo banyak tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam. Orang Bajo juga banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.rumah bajo yang sudah modern. Dari segi bahasa, kendati orang Bajo mempunyai satu bahasa. Namun dialek mereka terpengaruh dengan bahasa-bahasa daerah tempat mereka bermukim.


Perkampungan Suku Same/Bajo

Seperti di kabupaten Lembata, mereka hanya berbahasa Bajo dengan kaumnya, sementara itu mereka berbahasa Lamaholot bila bertemu di pasar atau berinteraksi dengan penduduk luar kelompoknya. Pernah sekitar 6 tahun silam saya pernah membaca artikel tentang surat orang Bajo asal Sabah, Malaysia yang ingin menjalin ikatan dengan orang Bajo di Sulawesi Tengah, disertakan juga sampel bahasa Bajo yang dipakai disana pula. Namun ketika sampel bahasa Bajo Malaysia dibandingkan dengan bahasa Bajo setempat, ternyata sudah mengalami perbedaan yang sangat jauh sebagai akibat pengaruh bahasa-bahasa lainnya.

Orang Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak mengadaptasi adat istiadat orang Bugis atau Makassar. Atau juga adat istiadat Buton di Sulawesi Tenggara. Sedangkan orang Bajo di Sumbawa cenderung mengambil adat Bugis, bahkan seringkali mengidentifikasi dirinya sebagai orang Bugis/Buton di beberapa daerah. 

Pernikahan Pada Orang Bajo

Meskipun telah ratusan tahun tinggal bersama penduduk lokal yang beragama Katolik atau Kristen di NTT, orang Bajo tetap sampai sekarang taat menganut agama Islam, dan bagi mereka Islam adalah satu-satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini.

Menjaga kekayaan laut adalah salah sifat yang diemban oleh suku Bajo. Dengan kearifannya mereka mampu menyesuaikan diri dengan ganasnya lautan.Sebelum menetap, suku Bajo seperti sebutannya ‘manusia perahu’ merupakan komunitas yang hidup di atas perahu. Kebudayaan seperti ini dialirkan oleh leluhur suku Bajo. Bertahan hidup dan menyambung hidup di atas laut.

Oleh karena itu suku Bajo selalu berpindah-pindah dalam hidupnya. Setelah memanfaatkan suatu daerah, maka mereka akan berpindah ke tempat baru.Bagi suku Bajo, Laut adalah sebuah masa lalu, kekinian dan harapan masa mendatang.

Laut adalah segalanya, laut adalah kehidupanya, laut adalah ombok lao, atau raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada penggolongan manusia dalam suku Bajo. suku Bajo, dalam menempatkan orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu Sama‘ dan Bagai. Sama‘ adalah sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo sementara Bagai adalah suku di luar Bajo.

Penyelam TOP Orang Bajo

Penggolongan tersebut telah memperlihatkan kehati-hatian dari suku Bajo untuk menerima orang baru. Mereka tidak mudah percaya sama pendatang baru.
Suku Bajo, memiliki keyakinan penuh atas sebuah ungkapan, bahwa Tuhan telah memberikan bumi dengan segala isinya untuk manusia. Keyakinan tersebut tertuang dalam satu Falsafah hidup masyarakat Bajo yaitu, ‘Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana‘, artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.

Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo. Dalam suku Bajo, laki-laki atau pria biasa dipanggil dengan sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda.

Sumber :