Menjaga Tradisi Orang Bajo
Kedekatan
emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia
kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika
ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan. Ada
tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka, dan sasakai.
Palilibu adalah
kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan
dayung. Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman
menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga.
Bapongka (babangi) adalah
kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan menggunakan perahu
besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan
ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak,
bahkan ada yang melahirkan di atas perahu.
Sasakai,
yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan
wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut)
ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.
Pantangan (Pamali)
Pantangan itu,
antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang,
arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air
perasan jeruk, dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.
Air cucian
maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula
pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka,
bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di
laut. Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena
itu satwa ini tidak boleh dibunuh. “Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih
mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para
leluhur.
Orang tua
melarang anggota keluarga menangkap ikan dan biota lai di sekitar gugusan
karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan
sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian
ekosistem perairan laut dan pesisir.”
Kedekatan
masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki berbagai
pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer
bumi, ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat
Bajo saat melaut.
Perairan
terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup
tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan
ketika dayung perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari
kilauan cahaya bulan pada malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada
siang hari, ketika burung elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air
mulai surut.
Pengetahuan
masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis. Terumbu
karang, antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di
sekitar kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan
permukaan air cukup tenang.
Aktivitas
burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak
tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang. “Walau perkembangan ilmu
pengetahuan makin maju namun pengetahuan lokal tentang gejala alam yang
dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani
kehidupan di laut
Rumah panggung Suku Bajo, yang terpisah dari daratan. Mereka
tak ingin ada jembatan yang menghubungkan antara daratan dan laut, antara lain
khawatir bedampak buruk bagi lingkungan sekitar.
Sumber:
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2014/02/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian.html